rajapress

Indonesia Darurat Korupsi dan Kegagalan Demokrasi Elektoral

1 Mar 2021  |  946x | Ditulis oleh : Admin
Indonesia Darurat Korupsi dan Kegagalan Demokrasi Elektoral

Hanya dalam kurun waktu 4 bulan terakhir, KPK telah berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada sejumlah pejabat negara atau pejabat publik mulai dari tingkat menteri sampai kepala daerah (Gubernur).

Bulan November hingga Desember 2020 saja KPK telah menetapkan 2 orang menteri kabinet Jokowi sebagai tersangka kasus korupsi yaitu Edhy Prabowo, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap ekspor benih Lobster saat masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Edhy diduga menerima uang suap senilai Rp 3,4 miliar dan USD 100 ribu dan Juliari Batubara menjadi tersangka dalam perkara korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 saat menjabat Mensos.

KPK menduga Juliari menyunat Rp 10 ribu dari tiap paket pengadaan bansos COVID-19 seharga Rp 300 ribu. Total dana yang diduga telah diterima sebesar Rp 17 miliar. Kemudian yang tidak kalah mencengangkan lagi yaitu pertanggal 28 Februari 2021, KPK kembali berhasil menetapkan Nurdin Abdullah sebagai tersangka atas kasus penerimaan hadiah atau janji dan gratifikasi senilai Rp 2 miliar, terkait projek pengadaan barang jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur dalam lingkup provinsi Sulawesi Selatan tahun 2020-2021.

Tentunya hal ini cukup mengangetkan publik khususnya masyarakat Sulawesi Selatan, karena Nurdin Abdullah tercatat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Dan ironisnya 3 orang pejabat negara tersebut adalah kader partai koalisi pemerintahan Jokowi yaitu Gerindra dan PDI Perjuangan.

Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh ketiga orang di atas adalah bentuk moral hazard yang sedang dipertontonkan kepada publik dalam kondisi bangsa dan negara yang telah menghadapi krisis hampir pada berbagai sektor terutama ekonomi yang salah satunya diakibatkan oleh Covid 19.

Terhadap kinerja baik yang dilakukan oleh KPK ini, tentunya sangat patut untuk diberikan apresiasi dan dukungan secara penuh oleh semua pihak, yang mengharapkan perubahan ke arah lebih baik di negeri ini, dan sudah tentu pengurus besar HMI akan selalu mensupport KPK dalam setiap agenda pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia, yang tanpa pandang bulu atau tebang pilih.

Mengingat bahwa korupsi adalah tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), bahkan PB HMI mendorong kepada aparat penegak hukum khususnya KPK untuk tidak saja memberikan sanksi berupa penjara, tetapi juga melakukan penyitaan atas seluruh asset/harta kekayaan para koruptor, yang diperolehnya dari hasil kejahatan korupsi dengan tujuan menjadi efek jera kepada pelaku dan pelajaran kepada public, khususnya para pejabat untuk berhati-hati terhadap tindak pidana korupsi.

Indonesia memang sudah sangat darurat korupsi. Kurang lebih 22 tahun pasca reformasi, justru korupsi semakin merajalela di Indonesia, berbanding terbalik dengan indeks demokrasi yang mengalami penurunan. Padahal perjuangan Reformasi terjadi atas dasar spirit dan kehendak rakyat untuk lepas dari jeratan kekuasaan atau pemerintahan yang korup dan otoriter pada masa orde baru di bawah kekuasaan Suharto selama kurang lebih 32 tahun.

Namun dengan berbagai fakta mencengangkan terkait tindak pidana korupsi pada masa Reformasi khususnya pada masa kepemimpinan Jokowi ini, mempertegas bahwa reformasi dapat dikatakan telah gagal. Sehingga perlu adanya Revolusi Total terhadap konstruksi sistem di Indonesia baik secara struktural maupun kultural.

Dengan sistem yang terjadi di Indonesia saat ini, misalnya menyangkut sistem dan/atau budaya politik yang sangat liberal-transaksional secara ugal-ugalan dan birokrasi yang semakin tidak terkontrol sebab minimnya check and balancing karena  fungsi lembaga legislatif dan yudikatif tidak berjalan dengan baik ditambah lagi kekuatan oposisi yang dilemahkan oleh kekuasaan dengan berbagai motif, membuat setiap pejabat publik sangat rentan melakukan tindak pidana korupsi.

Korupsi yang merajalela di Indonesia dan dilakukan oleh pejabat publik adalah, bentuk moral hazard yang tentunya tidak lepas dari suatu sistem politik dan birokrasi yang amburadul akibat perselingkuhan antara oligarki politik bersama oligarki ekonomi.

Budget atau cost politik yang sangat mahal dan tidak terkendali dalam konteks Demokrasi Elektoral di Indonesia membuka celah pejabat publik baik eksekutif maupun legislative, melakukan tindak pidana korupsi berakibat pada iklim politik di Indonesia menjadi tidak sehat, dan bersifat destruktif (merusak) terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh 3 orang pejabat negara dalam kurun waktu 4 bulan terakhir adalah bukti nyata dari efek kegagalan penerapan Demokrasi Elektoral di Indonesia.

Baca Juga: